Artikel E-Sya

SISTEM KEUANGAN SYARIAH DAPAT CEGAH KRISIS

Di tulis oleh : Abida Muttaqiena*

Selasa, 3 Desember 2008

Krisis keuangan global saat ini dipicu oleh Krisis Subprime Mortgage yang melanda Amerika sejak tahun lalu. Perdagangan surat-surat utang yang tidak memiliki basis asset riil dan pemberian kredit subprime mortgage pada masyarakat yang tergolong NINJA (No Income, No Job and Assets), mengakibatkan timbulnya Bubble Economy. Bubble Economy yaitu kondisi perekonomian yang kelihatannya maju pesat dan bagus, tapi itu sebenarnya cuma gelembung yang suatu saat akan pecah juga. Inti masalah sebenarnya ada pada sistem keuangan yang berdasarkan bunga (interest rate), memperdagangkan uang, dan mengizinkan praktek spekulasi. Kondisi ini berbeda dengan sistem keuangan syariah.

Pada tanggal 21 November 2008, Niriah.com menurunkan berita bertitel ”Keuangan Syariah Dapat Atasi Krisis”. Artikel itu mengutip pernyataan Gubernur Bank Negara Malaysia Tan Sri Dr Zeti Akhtar Aziz. Menurutnya, setidaknya ada dua tiang penyangga mengapa ekonomi syariah bisa bertahan disaat sistem perekonomian sedang terpuruk, pertama keuangan syariah mendorong kegiatan perniagaan yang menghasilkan keuntungan yang sah sebagai sasaran. Hal ini untuk memastikan dana yang disalurkan ke kegiatan usaha keuangan riil, yang dapat memperkuat hubungan antara aliran keuangan dan kegiatan produksi. Kedua, dalam transaksi keuangan syariah, uang itu bukan komoditi tetapi media pertukaran, nilai dari harga dan alat pengukuran.

Adam Smith mengatakan bahwa usaha mengejar kepentingan diri yang dilakukan Individu akan menguntungkan semua orang. Tangan-tangan gaib akan membimbing agen kepentingan diri individual untuk melakukan tindakan yang akan optimal secara sosial, meskipun mereka sendiri tidak begitu peduli pada akibat dari tindakan itu. Coba bandingkan dengan pernyataan Umer Chapra dalam bukunya, ”Islam and Economic Development”: ”Komitmen Islam yang demikian mendalam terhadap persaudaraan dan keadilan menyebabkan konsep kesejahteraan (falah) bagi semua umat manusia sebagai suatu tujuan pokok Islam. Kesejahteraan ini meliputi kepuasan fisik sebab kedamaian mental dan kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui realisasi yang seimbang antara kebutuhan materi dan rohani dari personalitas manusia. Karena itu, memaksimumkan output total semata-mata tidak dapat menjadi tujuan dari sebuah masyarakat muslim. Memaksimumkan output, harus dibarengi dnegan menjamin usaha-usaha yang ditujukan kepada kesehatan rohani yang terletak pada batin manusia, keadilan, serta permainan yang fair pada semua peringkat interaksi manusia. Hanya pembangunan semacam inilah yang akan selaras dengan tujuan-tujuan syari’ah (maqasid asy-syari’ah)…”

Dalam kapitalisme, ada kontradiksi antara ”tujuan” dengan ”cara-cara” yang digunakan untuk mencapai tujuan itu. Coba pikirkan, mungkinkah tindakan-tindakan yang individualistis, akan melahirkan kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat ? Tindakan-tindakan itu hanya akan melahirkan kondisi ”survival of the fittest”, dimana hanya orang yang kuat yang akan bertahan. Mungkin kemakmuran yang dialami oleh negara-negara Barat terlihat begitu menyilaukan bagi negara-negara berkembang, tapi sesungguhnya di negara-negara Barat pun ada yang namanya ”kesenjangan sosial-ekonomi” dan ”kebobrokan moral”. Dan lebih dari itu, kemakmuran mereka dibangun diatas kesengsaraan golongan ekonomi lemah di negeri mereka sendiri dan masyarakat negara dunia ketiga.

Sistem keuangan kapitalis yang dibangun diatas kontradiksi itu, tidak lagi akan menjadi sebuah sistem yang menghubungkan orang-orang yang kelebihan dana dengan orang-orang yang membutuhkan dana. Sistem keuangan kapitalis hanyalah sebuah pasar dimana sistem memungkinkan para pemainnya untuk memperoleh keuntungan dari kenaikan maupun penurunan harga komoditas. Pihak-pihak yang mendapat keuntungan dari kenaikan harga dan pihak-pihak yang mendapat keuntungan dari penurunan harga, akan saling berperang, berusaha menggerakkan pasar agar dirinya meraih keuntungan. Padahal dalam sistem keuangan kapitalis, yang namanya ”komoditas” itu bukan cuma barang seperti buah dan sayur, melainkan juga saham, surat utang, bahkan uang ! Sistem semacam ini jelas tidak akan sustain (berkelanjutan).

Di sisi lain, sistem keuangan syariah memiliki basis riil yang kuat, dan terikat dengan aturan-aturan syariah. Konsep bagi hasil yang diterapkan bank syariah, misalnya, adalah menginvestasikan dana nasabah di bank terlebih dahulu kedalam usaha (halal), barulah keuntungan usahanya dibagikan. Ini berbeda dengan simpanan nasabah di bank konvensional yang tidak peduli simpanan tersebut disalurkan ke dalam usaha seperti apa, tidak peduli untung atau rugi, yang penting bank tetap wajib membayar bunganya.

Larangan H. MAGHRIB (Haram, Maysir, Gharar, dan Riba), merupakan salah satu poin penting yang membedakan sistem keuangan syariah dengan sistem keuangan kapitalis. Selain itu, para ekonom syariah seperti Abu Ubaid, Yahya bin Umar, Al Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, dan Al Maqrizi, telah menjelaskan pentingnya emas sebagai standar moneter dan menegaskan bahwa uang bukanlah komoditas. Kembali kepada Ekonomi Syariah, merupakan tindakan yang perlu kita lakukan untuk menghindari kejatuhan ekonomi yang lebih parah (lagi) di masa-masa yang akan datang.

1 thoughts on “Artikel E-Sya

Tinggalkan komentar